Kritik Ekspresif Terhadap Karya Sastra Slangkangan
Abstract
Hubungan Kaum Sofis dengan Postmo.
Pada masa 600-an Sebelum lahirnya Nabî Îsa Al-Masîh (SM), di Yunani terdapat
2 aliran pemikiran yang saling bertolak belakang, yaitu kaum Filosuf dan kaum Sofis. Sesuai
sebutan namanya “Philosophia” (cinta kebijaksanaan), maka kaum filosuf mengajarkan
nilai-nilai ‘Amr Ma’rûf Nahi Munkar (kebaikan dan kebenaran). Bagi kaum Filosuf semacam
Sokrates, Plato dan Aristoteles mengenal nilai-nilai kebenaran relatif dan kebenaran mutlak.
Sebaliknya kaum Sofis, tak mengenal kebenaran mutlak. Menurutnya, semua kebenaran
bersifat relatif dan ujung-ujungnya adalah nihilisme. Jika ditinjau dari sisi motivasi, maka
kaum Filosuf dan kaum Sofis tidak pernah sejalan. Kaum filosuf mencari kebenaran, sebaliknya
kaum Sofis mencari bayaran (harta ataupun jabatan). Bagi kaum Sofis, nilai-nilai kebaikan
dan kebenaran tergantung yang membayar. Karenanya tidak heran jika nilai-nilai kebenaran
dan kebaikan dijungkirbalikkan mengikuti pesanan sponsor. Dalam konteks pewayangan
Jawa (Mahabarata), kaum Sofis itu tak ubahnya Patih Sengkuni dan Pendeta Durna.
Ribuan tahun madzhab kaum Sofis telah mati, dan mulai muncul kembali pada masa Postmo.
Seluruh narasi nilai-nilai kaum Sofis (relatifisme dan nihilisme) diusung kembali (termasuk di
dalam dunia Kesusastraan Indonesia). Hal-hal yang sifatnya tabu semacam bagian Slangkangan
(Kontol dan Penis), diusung dan disuguhkan ke hadapan publik melalui karya-karya
sastranya. Mereka berdalih bahwa tabu dan tidak tabu, atau baik dan buruk tergantung cara
pandang. Semua kebenaran bersifat relatif.
Pertanyaannya adalah benarkah semua kebenaran itu bersifat relatif ?
Tulisan ini dimaksudkan untuk membongkar kekeliruan cara pandang kaum Neo Sofis yang
berkedok dibalik karya Sastra. Adapun pisau analisa yang saya gunakan adalah pendekatan
Ekspresif. Dan supaya menjaga kefokusan bahasan, maka yang dimaksud karya Sastra
Slangkangan disini saya batasi karya Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu
Keywords